Minggu, 28 Juni 2015



UPACARA POTONG GIGI (MEPANDES) DARI KACA MATA KEKINIAN


Salah satu Upacara Manusia Yadnya dalam Agama Hindu di Bali yaitu potong gigi (mepasdes). Bagi generasi muda yang selalu kritis dan ingin tahu, akan timbul pertanyaan mengapa kita harus potong gigi, apakah ada sastranya sebagai dasar hukum untuk pelaksanaan upacara potong gigi ini, apakah di India sebagai tempat lahirnya Hindu ada upacara potong gigi ?

Dalam Lontar Kala Tattwa, ada disebutkan lahirnya Bhatara Kala, dari air mani yang salah tempat dan waktu. Yang mana pada waktu Dewa Siwa, pergi bersama Dewi Uma, kain Dewi Uma tersingkap, sehingga air mani Dewa Siwa menetes, dari air mani inilah lahir Bhatara Kala.

(Nihan tacaranika sang brahmana, yan ring amawasya, catur dasi, ring purnama, ring astame kala kuneng, brahmacarya juga sira, haywa pareking stri, ngaraning brata samangkana amretasnataka = Demikianlah prilaku  sang Brahmana, pada waktu tilem (amawa), prawani (caturdasi), pananggal panglong  8 (astame), hendaknya melakukan Brahmacarya, jangan dekat dengan istri, hal itu disebut dengan brata Amretasnataka).

Selanjutnya disebutkan dalam lontar tersebut bahwa setelah Bhatara Kala menginjak dewasa, beliau berkeinginan untuk mengenal  ayah ibunya (asal mula), atas petunjuk Dewa Siwa, jika Bhatara Kala ingin ketemu orang tuanya agar terlebih dahulu memotong gigi taringnya, setelah itu akan bertemu dengan orang tuanya.

Dalam lontar yang lain yaitu Lontar Smaradahana, diceritrakan bahwa Dewa Ganesha baru dapat mengalahkan raksasa yang sangat jahat Nilarudraka dengan menggunakan patahan taringnya sebagai senjata.

Dalam Lontar Tutur Sanghyang Yama ada disebutkan sebagai berikut :
........ mwah yan amandesi wwang durung ang raja, pada tan kawenang, amalat rare ngaranya,  tunggal alanya ring wwang angrabyaning wwang durung angraja, tan sukrama kna ring jagat megawe  sanggar negaranira Çri Aji.

Terjemahan  bebasnya :
...…. lagi  jika memotong gigi orang yang  belum kotor kain, sama sekali tidak dibenarkan, memperkosa  bayi (anak-anak) namanya, sama buruknya dengan orang yang mengawini  orang yang belum kotor kain (belum dewasa) tidak patut hal  itu dilakukan didunia akan mengakibatkan  rusaknya negara sang raja. Jadi dengan demikian  seseorang baru boleh melaksanakan upacara Mepandes setelah mereka naik  dewasa dalam arti  sudah pernah  kotor kain.

Dasar hukum secara Sastra Hindu, apa yang diuraikan di atas mungkin sudah cukup menjawab, alasan upacara Potong Gigi (Mepandes) tersebut.

Menurut G.A Wilken seorang sarjana barat yang terkenal, menyebutkan bahwa  pada bangsa-bangsa pra sejarah  di daerah kepulauan  Polinesia, Asia Tengah dan Asia Tenggara terdapat suatu  kepercayaan pentingnya  memotong bagian-bagian  tertentu dari  tubuh  seperti rambut,  gigi, menusuk (melobangi) telinga, tatuage (mencacah kulit) dan sebagai upacara berkorban  kepada nenek moyang.  Penyiksaan diri  dalam batas-batas tertentu dianggap  sebagai korban  dalam agama, antara lain adalah tapa dan  brata.

Bagi generasi muda yang berpikir kekinian dan sedikit hedonis, belumlah cukup puas dengan apa yang diuraikan di atas. Berikutnya saya coba kutipkan dialog antara pasien dengan seorang Dokter Gigi yang bernama Drg. Dio Nella yang tertuang dalam blog yang dimiliki dokter tersebut.

Pasien  :  “Dok gigi saya tidak rata, sehingga wajah saya nampak kurang menarik, bisakah dokter membuat gigi saya rata, rapi dan teratur ?”

Dokter :  “Untuk merapikan gigi dalam batas-batas tertentu bisa namun lebih pas dibawa ke dokter gigi spesialis Ortodontis. Namun saya ingin menyampaikan bahwa jika anda ingin giginya sangat rapi dan rata, maka akan ada kesulitan dalam memakan atau menguyah makan tertentu. Tuhan sudah menciptakan gigi manusia tidak terlalu rapi karena masing-masing gigi mempunyai tugas yang tidak sama, jika diratakan maka ada kesulitan dalam mengunyah makanan”.

Pasien : “Oh begitu, terima kasih dokter atas pengetahuannya tentang gigi”.

Apa yang kita dapat petik dari dialog Pasien dengan Dokter tersebut ? Bahwa jika gigi kita diratakan seluruhnya menjadi sangat rapi, maka akan ada kesulitan untuk mengunyah makanan tertentu, misalnya daging yang cukup keras. Namun disisi lain wajah akan nampak lebih cantik dan rapi. Di sisi lain jika gigi kita biarkan sedemikian sesuai aslinya, maka kita akan dengan mudah mengunyah segala makan makanan termasuk berbagai jenis daging, dan akan cendrung menikmati makanan dengan jumlah yang lebih banyak.  ini identik dengan keserakahan (loba) yang sangat mungkin nafsu makan kita kurang dapat dikendalikan.

Dengan demikian, Potong Gigi ini merupakan jalan tengah, agar kita sebagai manusia bisa “ngeret indriya” atau mengendalikan diri dalam menikmati makanan. Upacara Potong Gigi hanya meratakan sedikit saja lekukan-lekukan kecil yang ada di 6 gigi depan, namun tidak sampai meratakan total termasuk gigi taring yang memang kelihatan sedikit menonjol. Dengan demikian kita telah mencoba mengendalikan diri dalam hal makan, salah satu dari Sad Ripu.

Coba kita bandingkan dengan “Khitan” dalam Agama Islam. Dalam sebuah buku yang berjudul  “Khitan Wanita dan Prostitusi” yang ditulis oleh Dra. Mamik Syfa’ah, M.Pd.I dan H.Qomari, S.Pd.I, M.Si, dalam halaman 10-11 tertulis : “Dalam Kitab “Ahkam al-Nisa”, Al-Jauzi mengatakan : “Khitan bagi wanita dimaksudkan untuk mengurangi syawatnya agar menjadi seimbang dan tidak mudah melakukan perbuatan zina. Karena sesungguhnya syawat wanita jauh lebih besar jika dibandingkan laki-laki. Disamping itu Khifat (khitan bagi wanita) bisa menjadikan wajah ceria dan lebih disayang suami”

Apa yang kita dapat petik prihal khitan tersebut ? Tujuan khitan rupanya ada kemiripan dengan tujuan potong gigi, sama-sama untuk pengendalian hawa nafsu, hanya untuk potong gigi pengendalian lebih dititik beratkan pada saat makan, sedangkan khitan lebih menekankan pada pengendalian hawa nafsu birahi.

Bagaimana dengan di India, apakah disana ada Upacara Potong Gigi ?
Penulis pernah ke India tahun 1999, belum pernah mendengar adanya Upacara Potong Gigi di India. Demikian juga dalam bacaan-bacaan baik berupa buku maupun di internet. Perlu diketahui bahwa Hindu tidak sama dengan Agama lain. Hindu menganut sistem desentralisasi dimana di masing-masing negara/wilayah/daerah pelaksanaan keagamaan boleh berbeda, namun harus tidak bertentangan dengan Veda. Setiap orang Suci ( Pandita atau Rsi) yang memiliki kemampuan spitual sangat dalam dan diakui oleh umatnya, maka orang suci tersebut dapat membuat suatu tuntunan keagamaan yang berlaku didaerah tersebut. Contoh misal Empu Markadeya, Empu Kuturan, Dang Hyang Nirartha, Empu Sangkulputih dll, dahulu membuat model sesajen yang dipergunakan di Bali saat ini, dan sangat diakui dan dilaksanakan oleh umat Hindu Bali, dimana sesajen model tersebut tidak kita temukan di India. Yang perlu diingat bahwa bahan dasar dari sesajen tersebut sesuai dengan tuntunan Veda : Patram, Puspam, Palam dan Toyam. Tidak menuntup kemungkinan juga suatu saat di Jawa ada seorang Pandita Sakti yang sangat diyakini oleh umatnya, maka akan muncul secara perlahan adanya sesajen Jawa yang diakui dan dijalankan oleh umat Hindu di Jawa. Bahkan di beberapa tempat seperti di kawasan Tengger sudah ada sesajen khas Tengger yang sudah dipakai sejak jaman dulu.

Coba kita simak sloka Manawa Dharmasastra VII.10 , yang berbunyi :

karyam so’vekso saktimca, desa-kala-ca tatvatah,
kurute dharmassddhiyartham, viswarupam punah-punah.
Artinya:
Menyukseskan tujuan dharma hendaknya dijalankan dengan lima pertimbangan: iksa (Tujuan), sakti (kemampuan), desa (aturan setempat) dan kala (waktu) dan tidak boleh bertentangan dengan tattwa (kebenaran).

Sloka diatas menegaskan bahwa didalam mempraktekan aturan dan ajaran Dharma hendaknya dilaksanakan berdasarkan: Iksa (Tujuan), Sakti (kemampuan), Desa (wilayah), Kala (waktu, perkembangan jaman), Tatva (sastra dan keadaan), untuk menyukseskan tujuan dharma dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini merupakan sebuah jawaban mengapa Hindu Nusantara berbeda dengan Hindu India, Hindu bali berbeda dengan Hindu Jawa , Hindu Kalimantan berbeda dengan Hindu Lombok, dan mengapa pula ajaran Hindu dalam prateknya selalu meyesuaikan dengan Perkembangan Jaman dan sesuai wilayah dimana penganutnya berada. Demikian pula halnya dengan bahasa yang digunakan. Contoh misalnya ; kitab Mahabharata pada jaman dahulu dirubah menggunakan bahasa Jawa kuno. Banyak sekali kitab Hindu yang berbahasa jawa kuno yang merupakan tafsiran dari kitab Hindu yang berbahasa sansekerta.

 

 ( I Gusti Ketut Budiartha)

Refrensi bacaan :
4.      “Khitan Wanita dan Prostitusi” oleh  oleh Dra. Mamik Syfa’ah, M.Pd.I dan H.Qomari, S.Pd.I, M.Si.
5.    https://www.facebook.com/hindubali/posts/448762148479770 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar