UPACARA POTONG GIGI (MEPANDES) DARI KACA MATA KEKINIAN
Salah satu Upacara Manusia Yadnya
dalam Agama Hindu di Bali yaitu potong gigi (mepasdes). Bagi generasi muda yang
selalu kritis dan ingin tahu, akan timbul pertanyaan mengapa kita harus potong
gigi, apakah ada sastranya sebagai dasar hukum untuk pelaksanaan upacara potong
gigi ini, apakah di India sebagai tempat lahirnya Hindu ada upacara potong gigi
?
Dalam Lontar Kala Tattwa, ada
disebutkan lahirnya Bhatara Kala, dari air mani yang salah tempat dan waktu.
Yang mana pada waktu Dewa Siwa, pergi bersama Dewi Uma, kain Dewi Uma
tersingkap, sehingga air mani Dewa Siwa menetes, dari air mani inilah lahir
Bhatara Kala.
(Nihan tacaranika sang brahmana,
yan ring amawasya, catur dasi, ring purnama, ring astame kala kuneng,
brahmacarya juga sira, haywa pareking stri, ngaraning brata samangkana
amretasnataka = Demikianlah prilaku sang Brahmana, pada waktu tilem
(amawa), prawani (caturdasi), pananggal panglong 8 (astame), hendaknya
melakukan Brahmacarya, jangan dekat dengan istri, hal itu disebut dengan brata
Amretasnataka).
Selanjutnya disebutkan dalam lontar tersebut bahwa setelah Bhatara Kala menginjak dewasa, beliau berkeinginan untuk mengenal
ayah ibunya (asal mula), atas petunjuk Dewa Siwa, jika Bhatara Kala ingin
ketemu orang tuanya agar terlebih dahulu memotong gigi taringnya, setelah itu akan bertemu dengan orang tuanya.
Dalam lontar yang lain yaitu Lontar Smaradahana, diceritrakan bahwa Dewa Ganesha baru dapat mengalahkan
raksasa yang sangat jahat Nilarudraka dengan menggunakan patahan taringnya
sebagai senjata.
Dalam Lontar Tutur Sanghyang Yama ada disebutkan
sebagai berikut :
........ mwah
yan amandesi wwang durung ang raja, pada tan kawenang, amalat rare ngaranya,
tunggal alanya ring wwang angrabyaning wwang durung angraja, tan sukrama
kna ring jagat megawe sanggar negaranira Çri Aji.
Terjemahan bebasnya :
...…. lagi jika memotong gigi orang yang
belum kotor kain, sama sekali tidak dibenarkan, memperkosa bayi
(anak-anak) namanya, sama buruknya dengan orang yang mengawini orang yang
belum kotor kain (belum dewasa) tidak patut hal itu dilakukan didunia akan
mengakibatkan rusaknya negara sang raja. Jadi dengan demikian
seseorang baru boleh melaksanakan upacara Mepandes setelah mereka naik
dewasa dalam arti sudah pernah kotor kain.
Dasar hukum secara Sastra Hindu, apa
yang diuraikan di atas mungkin sudah cukup menjawab, alasan upacara Potong Gigi
(Mepandes) tersebut.
Menurut G.A Wilken seorang sarjana barat yang terkenal, menyebutkan
bahwa pada bangsa-bangsa pra sejarah di daerah kepulauan
Polinesia, Asia Tengah dan Asia Tenggara terdapat suatu kepercayaan
pentingnya memotong bagian-bagian tertentu dari tubuh
seperti rambut, gigi, menusuk (melobangi) telinga, tatuage (mencacah
kulit) dan sebagai upacara berkorban kepada nenek moyang.
Penyiksaan diri dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai korban
dalam agama, antara lain adalah tapa
dan brata.
Bagi generasi muda yang berpikir kekinian dan sedikit hedonis,
belumlah cukup puas dengan apa yang diuraikan di atas. Berikutnya saya coba
kutipkan dialog antara pasien dengan seorang Dokter Gigi yang bernama Drg. Dio
Nella yang tertuang dalam blog yang dimiliki dokter tersebut.
Pasien : “Dok gigi saya tidak rata, sehingga wajah saya
nampak kurang menarik, bisakah dokter membuat gigi saya rata, rapi dan teratur
?”
Dokter : “Untuk merapikan
gigi dalam batas-batas tertentu bisa namun lebih pas dibawa ke dokter gigi
spesialis Ortodontis. Namun saya ingin menyampaikan bahwa jika anda ingin
giginya sangat rapi dan rata, maka akan ada kesulitan dalam memakan atau menguyah
makan tertentu. Tuhan sudah menciptakan gigi manusia tidak terlalu rapi karena
masing-masing gigi mempunyai tugas yang tidak sama, jika diratakan maka ada
kesulitan dalam mengunyah makanan”.
Pasien : “Oh begitu, terima kasih dokter atas pengetahuannya
tentang gigi”.
Apa yang kita dapat petik dari dialog Pasien dengan Dokter
tersebut ? Bahwa jika gigi kita diratakan seluruhnya menjadi sangat rapi, maka
akan ada kesulitan untuk mengunyah makanan tertentu, misalnya daging yang cukup
keras. Namun disisi lain wajah akan nampak lebih cantik dan rapi. Di sisi lain
jika gigi kita biarkan sedemikian sesuai aslinya, maka kita akan dengan mudah
mengunyah segala makan makanan termasuk berbagai jenis daging, dan akan
cendrung menikmati makanan dengan jumlah yang lebih banyak. ini identik dengan keserakahan (loba) yang
sangat mungkin nafsu makan kita kurang dapat dikendalikan.
Dengan demikian, Potong Gigi ini merupakan jalan tengah, agar kita
sebagai manusia bisa “ngeret indriya” atau mengendalikan diri dalam menikmati
makanan. Upacara Potong Gigi hanya meratakan sedikit saja lekukan-lekukan kecil
yang ada di 6 gigi depan, namun tidak sampai meratakan total termasuk gigi
taring yang memang kelihatan sedikit menonjol. Dengan demikian kita telah
mencoba mengendalikan diri dalam hal makan, salah satu dari Sad Ripu.
Coba kita bandingkan dengan “Khitan” dalam Agama Islam. Dalam sebuah
buku yang berjudul “Khitan Wanita dan
Prostitusi” yang ditulis oleh Dra. Mamik Syfa’ah, M.Pd.I dan H.Qomari, S.Pd.I,
M.Si, dalam halaman 10-11 tertulis :
“Dalam Kitab “Ahkam al-Nisa”, Al-Jauzi mengatakan : “Khitan bagi wanita dimaksudkan
untuk mengurangi syawatnya agar menjadi seimbang dan tidak mudah melakukan
perbuatan zina. Karena sesungguhnya syawat wanita jauh lebih besar jika
dibandingkan laki-laki. Disamping itu Khifat (khitan bagi wanita) bisa
menjadikan wajah ceria dan lebih disayang suami”
Apa yang kita dapat petik prihal khitan tersebut ? Tujuan khitan
rupanya ada kemiripan dengan tujuan potong gigi, sama-sama untuk pengendalian
hawa nafsu, hanya untuk potong gigi pengendalian lebih dititik beratkan pada
saat makan, sedangkan khitan lebih menekankan pada pengendalian hawa nafsu
birahi.
Bagaimana dengan di India, apakah disana ada Upacara Potong Gigi ?
Penulis pernah ke India tahun 1999, belum pernah mendengar adanya
Upacara Potong Gigi di India. Demikian juga dalam bacaan-bacaan baik berupa
buku maupun di internet. Perlu diketahui bahwa Hindu tidak sama dengan Agama
lain. Hindu menganut sistem desentralisasi dimana di masing-masing negara/wilayah/daerah
pelaksanaan keagamaan boleh berbeda, namun harus tidak bertentangan dengan
Veda. Setiap orang Suci ( Pandita atau Rsi) yang memiliki kemampuan spitual
sangat dalam dan diakui oleh umatnya, maka orang suci tersebut dapat membuat
suatu tuntunan keagamaan yang berlaku didaerah tersebut. Contoh misal Empu
Markadeya, Empu Kuturan, Dang Hyang Nirartha, Empu Sangkulputih dll, dahulu
membuat model sesajen yang dipergunakan di Bali saat ini, dan sangat diakui dan
dilaksanakan oleh umat Hindu Bali, dimana sesajen model tersebut tidak kita
temukan di India. Yang perlu diingat bahwa bahan dasar dari sesajen tersebut
sesuai dengan tuntunan Veda : Patram, Puspam, Palam dan Toyam. Tidak menuntup
kemungkinan juga suatu saat di Jawa ada seorang Pandita Sakti yang sangat
diyakini oleh umatnya, maka akan muncul secara perlahan adanya sesajen Jawa
yang diakui dan dijalankan oleh umat Hindu di Jawa. Bahkan di beberapa tempat
seperti di kawasan Tengger sudah ada sesajen khas Tengger yang sudah dipakai
sejak jaman dulu.
Coba kita simak sloka Manawa Dharmasastra VII.10 , yang berbunyi :
karyam so’vekso saktimca, desa-kala-ca tatvatah,
kurute dharmassddhiyartham, viswarupam punah-punah.
Artinya:
Menyukseskan tujuan dharma hendaknya dijalankan dengan lima pertimbangan: iksa (Tujuan), sakti (kemampuan), desa (aturan setempat) dan kala (waktu) dan tidak boleh bertentangan dengan tattwa (kebenaran).
Sloka diatas menegaskan bahwa didalam mempraktekan aturan dan ajaran Dharma hendaknya dilaksanakan berdasarkan: Iksa (Tujuan), Sakti (kemampuan), Desa (wilayah), Kala (waktu, perkembangan jaman), Tatva (sastra dan keadaan), untuk menyukseskan tujuan dharma dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini merupakan sebuah jawaban mengapa Hindu Nusantara berbeda dengan Hindu India, Hindu bali berbeda dengan Hindu Jawa , Hindu Kalimantan berbeda dengan Hindu Lombok, dan mengapa pula ajaran Hindu dalam prateknya selalu meyesuaikan dengan Perkembangan Jaman dan sesuai wilayah dimana penganutnya berada. Demikian pula halnya dengan bahasa yang digunakan. Contoh misalnya ; kitab Mahabharata pada jaman dahulu dirubah menggunakan bahasa Jawa kuno. Banyak sekali kitab Hindu yang berbahasa jawa kuno yang merupakan tafsiran dari kitab Hindu yang berbahasa sansekerta.
( I Gusti Ketut Budiartha)
Coba kita simak sloka Manawa Dharmasastra VII.10 , yang berbunyi :
karyam so’vekso saktimca, desa-kala-ca tatvatah,
kurute dharmassddhiyartham, viswarupam punah-punah.
Artinya:
Menyukseskan tujuan dharma hendaknya dijalankan dengan lima pertimbangan: iksa (Tujuan), sakti (kemampuan), desa (aturan setempat) dan kala (waktu) dan tidak boleh bertentangan dengan tattwa (kebenaran).
Sloka diatas menegaskan bahwa didalam mempraktekan aturan dan ajaran Dharma hendaknya dilaksanakan berdasarkan: Iksa (Tujuan), Sakti (kemampuan), Desa (wilayah), Kala (waktu, perkembangan jaman), Tatva (sastra dan keadaan), untuk menyukseskan tujuan dharma dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini merupakan sebuah jawaban mengapa Hindu Nusantara berbeda dengan Hindu India, Hindu bali berbeda dengan Hindu Jawa , Hindu Kalimantan berbeda dengan Hindu Lombok, dan mengapa pula ajaran Hindu dalam prateknya selalu meyesuaikan dengan Perkembangan Jaman dan sesuai wilayah dimana penganutnya berada. Demikian pula halnya dengan bahasa yang digunakan. Contoh misalnya ; kitab Mahabharata pada jaman dahulu dirubah menggunakan bahasa Jawa kuno. Banyak sekali kitab Hindu yang berbahasa jawa kuno yang merupakan tafsiran dari kitab Hindu yang berbahasa sansekerta.
( I Gusti Ketut Budiartha)
Refrensi bacaan :
4.
“Khitan Wanita dan Prostitusi”
oleh oleh Dra. Mamik Syfa’ah, M.Pd.I dan
H.Qomari, S.Pd.I, M.Si.
5. https://www.facebook.com/hindubali/posts/448762148479770
5. https://www.facebook.com/hindubali/posts/448762148479770